Letak : Kota Gede, Yogyakarta
Raja-raja yang memerintah :
1. Panembahan Senopati
2. Sultan Anyakrawati
3. Sultan Agung Hanyakrakusuma
– zaman keemasan
– kebijakan Sultan Agung :
Kebijakan Sultan Agung :
a Menyatukan seluruh P.Jawa kecuali : Banten, Cirebon, Mataram
b. Mengusir VOC 2x, namun gagal
c. membuat kalender Jawa
d. memadukan unsur Islam dengan budaya Jawa
e. meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pertanian
f. menulis kitab Sastra Gendhing
g. wilayah kerajaan dibagi menjadi Kutagara, Negara Agung, Mancanegara, daerah Pesisiran
4. Amangkurat I
Pengaruh Belanda mulai masuk dan
berkembang di Kerajaan Mataram.
Th. 1755 Perjanjian Gianti
Th, 1757 Perjanjian Salatiga
Kehidupan Sosial-Ekonomi Mataram-Islam
a. Kehidupan Sosial-Budaya
Antara tahun 1614 hingga 1622, Sultan Agung mendirikan keraton baru di
Kartasura, sekitar 5 km dari Keraton Kotagede. Ia memperkuat militer, berhasil
mengembangkan kesenian, serta pertukangan. Selain itu, ia pun membangun komplek
pemakaman raja-raja Mataram di Bukit Imogiri. Kalender Jawa ia ganti dengan
sistem kalender Hijriah. Pada tahun 1639, sultan ini mengirim utusannya ke
Mekah. Setahun kemudian, 1640, utusan Mataram ini membawakan gelar baru bagi
Sultan Agung dari syarif di Mekah. Gelar baru itu adalah Sultan Abdullah
Muhammad Maulana Matarani.
Seperti halnya ibukota kerajaan Islam lainnya, ibukota Mataram memiliki
ciri khas kota berarsitekturkan gaya Islam. Tata letak istana atau keraton
senantiasa berdekatan dengan bangunan masjid. Letak keraton biasanya
dikelilingi benteng dengan pospos pertahanan di berbagai penjuru angin. Di luar
pagar benteng terdapat parit bautan yang berfungsi sebagai barikade pertahanan
ketika menghadapi lawan. Parit buatan ini berfungsi juga sebagai kanal, tempat
penampungan yang memasok air ke dalam kota.
Pada masa Paku Buwono II ini di istana Surakarta terdapat seorang pujangga
bernama Yasadipura I (1729-1803). Yasadipura I dipandang sebagai
sastrawan besar Jawa. Ia menulis empat buku klasik yang disadur dari bahasa
Jawa Kuno (Kawi), yakni Serat Rama, Serat Bharatyudha, Serat
Mintaraga, serta Arjuna Sastrabahu. Selain menyadur sastra-sastra
Hindu-Jawa, Yasadipura I juga menyadur sastra Melayu, yakni Hikayat Amir
Hamzah yang digubah menjadi Serat Menak. Ia pun menerjemahkan Dewa
Ruci dan Serat Nitisastra Kakawin.
Untuk kepentingan Kasultanan Surakarta, ia menerjemahkan Taj as-Salatin ke
dalam bahasa Jawa menjadi Serat Tajusalatin serta Anbiya. Selain
buku keagamaan dan sastra, ia pun menulis naskah bersifat kesejarahan secara
cermat, yaitu Serat Cabolek dan Babad Giyanti.
b. Kehidupan Ekonomi
Posisi ibukota Mataram di Kota Gede yang berada di pedalaman menyebabkan
Mataram sangat tergantung kepada hasil pertanian. Dengan kehidupan masyarakat
yang agraris membentuk tatanan masyarakat sistem feodal. Bangsawan, priyayi dan
kerabat kerajaan yang memerintah suatu wilayah diberi tanah garapan yang luas,
sedangkan rakyat bertugas untuk mengurus tanah tersebut. Sistem ini melahirkan
tuan tanah yang menganggap menguasai wilayahnya.
Kehidupan kerajaan Mataram mengandalkan dari agraris, sedangkan daerah
pesisir pantai di wilayah yang dikuasai tidak dimanfaatkan. Dengan mengandalkan
dari pertanian, Mataram melakukan penaklukan ke beberapa kerajaan-kerajaan di
Jawa Timur dan Jawa Barat. Dengan menarik upeti dari wilayahwilayah penghasil
beras menyebabkan perekonomian berkembang dengan cepat.
Keadaan tersebut tidaklah menguntungkan bagi rakyat, karena mereka
seakan-akan diperlakukan tidak benar oleh penguasa. Tidaklah mengherankan
apabila banyak yang melarikan diri dari wilayah kekuasaan Mataram atau
terjadinya pemberontakan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar